Sabtu, 18 April 2015

Untukmu, True Blue



Pacitan, 16 April 2015. 16:56.

Hai, selamat siang menjelang sore, kamu. Boleh, kan, aku mengingat lalu merindukanmu lagi? Ya, memang, cukup sering aku melakukan ini. Dan aku tak akan mohon izin untuk sekali ini, karena sepertinya, mengingat dirimu tak hanya sekali dua kali. Bisa dalam ratusan kali.
            
 Ngomong-ngomong, masih ingatkah kamu kepada gadis yang mampu menebak hobimu tanpa dia bertanya atau kamu beritahu lebih dulu? Masih ingatkah kamu kepada gadis yang suka sekali menonton sepak bola sampai-sampai kautanyai jadwal pertandingan klub favoritmu? Aku tahu kesibukanmu kala itu, sampai aku rela mencatat jadwal tanding salah satu klub yang bukan jagoanku. Iya, Chelsea. Waktu itu kamu tak sempat nonton tv, karena sibuk luar biasa dengan pekerjaanmu yang menguras tenaga. Nonton bola pun harus rela kamu kesampingkan. Dan waktu itu pula, kamu mengucap banyak-banyak terima kasih padaku karena telah memberi info yang tepat dan akurat, meski aku tahu, tentu dari banyak pertandingan yang aku kirim untukmu itu, hanya satu-dua yang kamu tonton.

Rabu, 08 April 2015

Tertanda, Satu Tahun yang Lalu




Hanya sebuah pesan singkat. Tanpa penjelasan. Yang mengantarku pada ujung penantian. Malam ini, Tuhan menjawab do’a. Memberiku kejutan. Membuka mata, otak, dan hatiku untuk pria yang berada di ujung sana. Yang namanya pernah kuselipkan dalam do’a setiap hari kepadaNya. Dan kali ini, melalui pemuda ini, aku tahu bagaimana “Pahitnya memperjuangkan cinta sendirian.”.

Aku pernah menertawakan kata-kata itu. Atau hanya mengeluarkan kata ‘kasihan’ kepada si pembuat kalimat itu. Tapi sayangnya, malam ini, aku yang membuat tulisan itu. Hanya karena kamu, Mas. Ujung do’a dan penantianku, kaujabarkan malam ini. Ketika aku sedang disibukkan dengan tugas akhir. Dibingungkan oleh program aplikasi edit film.

Lalu, kamu datang. Dari sepucuk surat bermedia elektronik. Entah, bagaimana caramu, mampu meredakan kebingunganku. Mampu melegakan otakku yang ruwet karena tugas akhir ini. Dan juga, melancarkan kinerja komputerku yang sempat kudiamkan karena aku tak tahu harus bagaimana. Kenapa harus kamu, Mas yang seolah jadi pahlawan? Masih banyak temanku yang lain, yang secara logis, lebih mungkin menolongku daripada sosok pemuda seperti kamu!

Sudah berapa kali kamu bilang padaku agar menjauh darimu? Sudah berapa kali pula kaumendekatiku dengan alasan hanya ingin berteman? Sepuluh kali? Berpuluh kali? Ah. Selalu saja kaumengelak. Kaubilang jika aku yang terlalu keras kepala. Jika aku yang berusaha menghindari itikad baikmu. Pokoknya, aku yang kausalahkan. Lantas, untuk apa kaumemintaku menjauh jika pada akhirnya kaumendekatiku lagi? Untuk apa kaumendekatiku jika pada ujungnya kauhanya memintaku untuk jadi ‘tong sampah’mu? Salahkah aku, jika mengatakan bahwa kaudatang hanya saat kaubutuh?

Kaumemang tak pernah memintaku untuk mencintaimu. Aku juga tak pernah mau rasa ini melingkupi hidupku, Mas. Aih, Cinta? Padamu? Jika aku bisa, aku pasti menolaknya, Mas. Jangan dikira, setiap tulisanku, statusku, tweetku, hanya untukmu. Jangan dikira, aku masih berkutat dalam pikiran tentangmu. Jangan dikira, aku tak berusaha menghilangkan rasa yang kurasa absurd ini.

Mungkin, kamu, pria di ujung sana, yang malam ini sempat mengirimkan pesan singkat, berperan sebagai pahlawan, tanpa berpikir bagaimana dampak kehadiran tiba-tibamu padaku. Dan tulisan ini, hanya secuil dari bagian kenangan yang kembali kautoreh dalam hidupku. Yang mungkin, setelah kaubuat tawaku tergerai malam ini, kaujuga akan membuat tangis entah kapan. Dalam nyata ataupun mimpi.

Ketika ujung penantian ini, berakhir pada kisah dejavu dalam cerita sambungku. “Ujung dari penantianku, kautak mencintaiku.”

Selasa, 07 April 2015

Maaf, Aku Mengingatmu



Hei, jangan tertawakan aku jika aku menulis surat untukmu. Jangan salahkan otakku yang masih sempat-sempatnya mengingatmu di tengah padatnya jadwal ujian akhir. Jangan kamu cibir hatiku yang nyatanya masih menyimpan tempat untukmu. Kamu tak perlu melakukan apa-apa. Diam di situ, nikmati kehidupanmu yang baru, dan kalau bisa, jangan lupakan aku.


             Oh, tidak, aku tidak apa-apa di sini. Aku masih baik-baik saja seperti pertama kita berjumpa dan berkenalan. Aku masih bisa tersenyum seperti ketika kamu menyebut sepak bola adalah hobimu dan calon karirmu. Menyebut Chelsea adalah klub favoritmu dan bermimpi untuk menimba ilmu di sana. Aku masih bisa tertawa seperti ketika kamu menyebutku dewi fortuna yang turun di tengah laga, memberimu semangat dan kamu berhasil mengoyak gawang lawan. Yang aku tak bisa adalah, melupakanmu begitu saja, seperti permintaanmu di perjumpaan terakhir kita. Menganggapmu hanyalah pemain bola pengisi hidup di sementara waktu; memintaku mencari penggantimu; tanpa aku tahu alasan kamu bilang seperti itu padaku.
            
 Kamu tahu setelah itu? Berhari-hari aku merenung. Mengingat-ingat kesalahan apa yang kuperbuat hingga kamu berkata seperti itu. Mengakhiri hubungan kita tanpa kata ‘putus’. Yang aku tahu, aku dan kamu baik-baik saja. Kamu ke rumah tiap malam minggu, memberi kabar jika sedang bertanding, menelepon sebentar jika sedang di luar kota, dan mengirim foto jika kamu bertemu orang penting atau pemain sepak bola idolaku. Bukankah itu tak ada yang salah? Aku selalu mendukungmu jika sedang bertanding di stadion kota. Aku sering menyambangimu di saat kamu latihan. Apakah itu salah, hingga kamu memilih mengkandaskan hubungan kita?
              
Baiklah, aku dan kamu sudah berakhir jauh-jauh hari. Toh, aku di sini sudah lebih baik daripada saat-saat itu, saat-saat kamu meninggalkanku tanpa alasan yang jelas.
            
 Oh iya, aku menulis ini, karena aku..... ehm, mendengar namamu disebut.

Baru saja pagi ini. Bisa dibilang tanpa sengaja, karena aku tahu, adik kelasku tidak tahu jika aku pernah menjalin hubungan denganmu. Aku, yang semoga kamu masih ingat kebiasaanku ketika baru datang ke sekolah adalah tidak pernah ke kantin, pagi ini, dengan janggalnya, aku melangkah ke kantin mencari pengganjal perut. Dua bakpao rasa cokelat, makanan favorit kita, sudah dalam genggaman. Hingga salah seorang adik kelas menyebut sepak bola, dan akhirnya menyebut namamu.

Jika aku sedang tak baik, mungkin dua bakpao itu sudah mencium lantai. Jika persiapanku kurang, mungkin aku sudah menginterogasi adik kelasku yang tahu siapa kamu, tapi tidak tahu tentang kita. Dan ujung-ujungnya, aku berlari ke kelas, menuliskan kecamuk dalam dada yang kurasa, dan dua bakpao itu meluncur mulus ke perut temanku. Nafsu makanku lenyap, dan aku justru kembali menangisimu.

Aku minta maaf karena mengingatmu dan mengenang kita. Aku minta maaf karena belum mampu memenuhi permintaan terakhirmu untuk menganggapmu bukan siapa-siapa. Kenyataannya, hatiku masih menganggapmu apa-apa.  

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini