Hei, jangan
tertawakan aku jika aku menulis surat untukmu. Jangan salahkan otakku yang
masih sempat-sempatnya mengingatmu di tengah padatnya jadwal ujian akhir.
Jangan kamu cibir hatiku yang nyatanya masih menyimpan tempat untukmu. Kamu tak
perlu melakukan apa-apa. Diam di situ, nikmati kehidupanmu yang baru, dan kalau
bisa, jangan lupakan aku.
Oh, tidak, aku tidak apa-apa di
sini. Aku masih baik-baik saja seperti pertama kita berjumpa dan berkenalan.
Aku masih bisa tersenyum seperti ketika kamu menyebut sepak bola adalah hobimu
dan calon karirmu. Menyebut Chelsea adalah klub favoritmu dan bermimpi untuk menimba ilmu di sana. Aku masih bisa tertawa seperti ketika kamu menyebutku dewi
fortuna yang turun di tengah laga, memberimu semangat dan kamu berhasil
mengoyak gawang lawan. Yang aku tak bisa adalah, melupakanmu begitu saja,
seperti permintaanmu di perjumpaan terakhir kita. Menganggapmu hanyalah pemain
bola pengisi hidup di sementara waktu; memintaku mencari penggantimu; tanpa aku
tahu alasan kamu bilang seperti itu padaku.
Kamu tahu setelah itu? Berhari-hari
aku merenung. Mengingat-ingat kesalahan apa yang kuperbuat hingga kamu berkata
seperti itu. Mengakhiri hubungan kita tanpa kata ‘putus’. Yang aku tahu, aku
dan kamu baik-baik saja. Kamu ke rumah tiap malam minggu, memberi kabar jika
sedang bertanding, menelepon sebentar jika sedang di luar kota, dan mengirim
foto jika kamu bertemu orang penting atau pemain sepak bola idolaku. Bukankah
itu tak ada yang salah? Aku selalu mendukungmu jika sedang bertanding di
stadion kota. Aku sering menyambangimu di saat kamu latihan. Apakah itu salah,
hingga kamu memilih mengkandaskan hubungan kita?
Baiklah, aku dan kamu sudah berakhir jauh-jauh
hari. Toh, aku di sini sudah lebih baik daripada saat-saat itu, saat-saat kamu
meninggalkanku tanpa alasan yang jelas.
Oh iya, aku menulis ini, karena
aku..... ehm, mendengar namamu disebut.
Baru saja pagi ini. Bisa dibilang tanpa sengaja, karena aku tahu,
adik kelasku tidak tahu jika aku pernah menjalin hubungan denganmu. Aku, yang
semoga kamu masih ingat kebiasaanku ketika baru datang ke sekolah adalah tidak
pernah ke kantin, pagi ini, dengan janggalnya, aku melangkah ke kantin mencari
pengganjal perut. Dua bakpao rasa cokelat, makanan favorit kita, sudah dalam
genggaman. Hingga salah seorang adik kelas menyebut sepak bola, dan akhirnya
menyebut namamu.
Jika aku sedang tak baik, mungkin dua bakpao itu sudah mencium
lantai. Jika persiapanku kurang, mungkin aku sudah menginterogasi adik kelasku
yang tahu siapa kamu, tapi tidak tahu tentang kita. Dan ujung-ujungnya, aku berlari ke kelas, menuliskan kecamuk dalam dada yang kurasa, dan dua bakpao itu meluncur mulus ke perut temanku. Nafsu makanku lenyap, dan aku justru kembali menangisimu.
Aku minta maaf karena mengingatmu dan mengenang kita. Aku minta
maaf karena belum mampu memenuhi permintaan terakhirmu untuk menganggapmu bukan
siapa-siapa. Kenyataannya, hatiku masih menganggapmu apa-apa.