Jumat, 20 Maret 2015

Tak Sama


Sebelum membaca tulisan ini, anggap dulu bahwa pemuda yang kumaksud di sini adalah:

 

Untukmu,
Pemuda taat beragama, dari pulau seberang.

            Belum genap jam dua belas malam waktu Indonesia bagian barat. Kurang sepuluh menit dari pergantian hari. Dan aku masih terjaga di sudut kamar, memikirkanmu—pemuda pulau seberang yang merenggut perhatianku.
            

Sabtu, 14 Maret 2015

Rumput Taman


Pacitan, beberapa bulan yang lalu, dari tempat tidur paling sudut.



Ini masih jam setengah sebelas. Masih terlalu sore bagiku untuk meletakkan kepala di atas bantal. Pikiranku belum ingin diistirahatkan. Masih melayang-layang, tak tentu arah.

Aku melirik foto-foto di atas meja. Fotoku yang sedang gila, fotoku dengan sepupuku, fotoku sendiri yang berpose KTP, fotoku dengan saudaraku, fotoku dengan Bayu Gatra, dan fotoku.... dengan orang itu. Foto yang sama dengan yang ada di dalam dompet. Yang masih ingin terus kusimpan. Jangan sampai hilang. Itu kenangan satu-satunya dengan dia.

Memori tentang dia langsung merebak. Meruak. Berkelebat dengan cepat. Seiring detak jantungku yang meningkat. Air mata tak kalah cepat segera keluar. Saling susul. Semakin deras sampai kebas. Turun dengan bebas. Tak mampu tertahankan.

Jam sebelas.

Air mataku sudah agak menyusut. Linangan air mata sudah keluar dengan teratur, satu-satu. Tak saling menyalip. Tak saling susul. Aku masih tergugu.

Tak seharusnya aku menangisinya seperti ini. Tak seharusnya aku terjaga selama beberapa malam akhir-akhir ini. Hanya karena aku tidak siap untuk mengucap salam pisah dengannya. Ya. Untuk sebuah alasan yang tak akan kusebut di sini, aku harus berpisah dengan dia. Membawa serta kenangan-kenangan tentang dia yang akhirnya hanya membuatku menangis kencang. Seperti malam ini.

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini