Pacitan, beberapa bulan yang lalu, dari tempat tidur paling sudut.
Ini
masih jam setengah sebelas. Masih terlalu sore bagiku untuk meletakkan kepala
di atas bantal. Pikiranku belum ingin diistirahatkan. Masih melayang-layang,
tak tentu arah.
Aku
melirik foto-foto di atas meja. Fotoku yang sedang gila, fotoku dengan sepupuku,
fotoku sendiri yang berpose KTP, fotoku dengan saudaraku, fotoku dengan Bayu
Gatra, dan fotoku.... dengan orang itu. Foto yang sama dengan yang ada di dalam
dompet. Yang masih ingin terus kusimpan. Jangan sampai hilang. Itu kenangan
satu-satunya dengan dia.
Memori
tentang dia langsung merebak. Meruak. Berkelebat dengan cepat. Seiring detak
jantungku yang meningkat. Air mata tak kalah cepat segera keluar. Saling susul.
Semakin deras sampai kebas. Turun dengan bebas. Tak mampu tertahankan.
Jam
sebelas.
Air
mataku sudah agak menyusut. Linangan air mata sudah keluar dengan teratur,
satu-satu. Tak saling menyalip. Tak saling susul. Aku masih tergugu.
Tak
seharusnya aku menangisinya seperti ini. Tak seharusnya aku terjaga selama
beberapa malam akhir-akhir ini. Hanya karena aku tidak siap untuk mengucap
salam pisah dengannya. Ya. Untuk sebuah alasan yang tak akan kusebut di sini,
aku harus berpisah dengan dia. Membawa serta kenangan-kenangan tentang dia yang
akhirnya hanya membuatku menangis kencang. Seperti malam ini.