Jumat, 09 Januari 2015

Bulan atau Bintang?



“Nggak dilanjutin belajar matematikanya?”
“Ehm, ha? Belajar?” lalu pandangan gadis itu beralih pada lembaran kertas tercoret angka, tanda plus, min, kali, bagi, mencari x, aritmatika, dan sebagainya. Berpindah lagi menatap kakaknya yang tampak menunggu jawabnya. Gadis itu mendesah keras.
“Buat apa, Mas, belajar? Toh, yang dapet nilai bagus bukan anak-anak yang belajar,” kata gadis itu terlihat kesal. Belum sempat si Abang mengerti apa yang diucapkan adiknya, gadis itu bercerita, “Aku lagi mikir nilai IPS . Baru tadi diumumin, dan ternyata, harusnya aku remidi. Tapi, karena nilai di raport masih di atas KKM, aku nggak jadi remidi.” Gadis itu menghela nafas. “Dan banyak anak tak terduga yang membuat kejutan. Yang biasanya lempeng-lempeng aja, nilai ulangan mereka bisa menjulang,” miris gadis itu tersenyum. Kakaknya manggut-manggut, mulai paham maksud adiknya.
            “Ehm, yang nilai mepet atau remidi Cuma kamu?”
            Gadis itu menggeleng. “Nggak. Hampir seluruh anak yang dibangga-banggakan guruku, nilainya juga jatuh. Temen-temen yang biasanya aktif di kelas, poin plus mereka juga nggak menolong nilai ulangan,” jawab gadis itu, masih dengan tatapan menghujam ke langit malam. “Guruku Cuma menduga kalau ada kunci jawaban atau soal sudah bocor atau sebangsanya. Sayangnya, guruku tak bisa mengusut kasus ini soalnya tak ada barang bukti, atau laporan dari pengawas. Padahal anak-anak itu.......” gadis itu tak mau melanjutkan cerita. Ia tahu kakaknya sudah lebih dari paham.
            Sementara kakaknya terdiam—hanyut, turut menatap langit malam. Hening yang lama,  hingga beberapa saat kemudian, sang kakak tersenyum—mendapat gagasan. Ia berdeham.
            “Kamu lihat bulan, deh,” pinta si Abang. Adiknya menoleh sebentar, sebelum kemudian matanya menatap bulan yang tampak manis dengan lengkungannya. “Udah dilihat?” disambut anggukan adiknya, masih dengan pandangan tertuju lurus pada bulan. “Sekarang, lihat bintang!” perintah si Abang. Adiknya menuruti. Dalam diam, gadis itu menghitung jumlah bintang sebelum memberi anggukan. Kakaknya tersenyum.
            “Plis, jangan basa-basi deh, Mas,” dan senyum si Abang hilang.
            “Oke, oke. Ehm, gini, kamu tahu bedanya bintang sama bulan?”
            “Kalau ini gombal aku tahu,” jawab adiknya, tampak enggan. Abang menghela nafas—menyadari adiknya pernah nangis berhari-hari hanya karena gombalan dari seseorang yang mungkin, sampai kini masih menghuni hati adiknya.
            “Bukan. Ini soal cerita kamu,” balasnya. Gadis itu menoleh, menatap lekat kakaknya yang masih memandang langit.
“Bulan itu bersinar lebih terang dibanding bintang. Bahkan, bulan yang hanya satu, bisa mengalahkan ratusan bintang di sekelilingnya.” Si Abang memberi jeda. Dan gadis itu masih menunggu penjelasan selanjutnya. “Tapi, asal kamu tahu, bulan hanya memantulkan cahaya milik matahari. Yang begitu indah itu, bukan dari dirinya sendiri. Sedangkan bintang? Meskipun hanya berkedip, tapi dia memancarkan cahaya sendiri,” penjelasan yang panjang dan lebar ini membuat gadis itu termenung lama. Sejurus kemudian ia menatap kakaknya, memberi isyarat bahwa perkataan kakaknya benar.
“Jadi, kamu pilih bulan atau bintang?” dan gadis itu  hanya tersenyum menjawab pertanyaan kakaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini