“Nggak
dilanjutin belajar matematikanya?”
“Ehm,
ha? Belajar?” lalu pandangan gadis itu beralih pada lembaran kertas tercoret
angka, tanda plus, min, kali, bagi, mencari x, aritmatika, dan sebagainya.
Berpindah lagi menatap kakaknya yang tampak menunggu jawabnya. Gadis itu
mendesah keras.
“Buat
apa, Mas, belajar? Toh, yang dapet nilai bagus bukan anak-anak yang belajar,”
kata gadis itu terlihat kesal. Belum sempat si Abang mengerti apa yang
diucapkan adiknya, gadis itu bercerita, “Aku lagi mikir nilai IPS . Baru tadi
diumumin, dan ternyata, harusnya aku remidi. Tapi, karena nilai di raport masih
di atas KKM, aku nggak jadi remidi.” Gadis itu menghela nafas. “Dan banyak anak
tak terduga yang membuat kejutan. Yang biasanya lempeng-lempeng aja, nilai ulangan
mereka bisa menjulang,” miris gadis itu tersenyum. Kakaknya manggut-manggut,
mulai paham maksud adiknya.
Gadis itu menggeleng. “Nggak. Hampir
seluruh anak yang dibangga-banggakan guruku, nilainya juga jatuh. Temen-temen
yang biasanya aktif di kelas, poin plus mereka juga nggak menolong nilai
ulangan,” jawab gadis itu, masih dengan tatapan menghujam ke langit malam. “Guruku
Cuma menduga kalau ada kunci jawaban atau soal sudah bocor atau sebangsanya. Sayangnya,
guruku tak bisa mengusut kasus ini soalnya tak ada barang bukti, atau laporan
dari pengawas. Padahal anak-anak itu.......” gadis itu tak mau melanjutkan
cerita. Ia tahu kakaknya sudah lebih dari paham.
Sementara kakaknya terdiam—hanyut,
turut menatap langit malam. Hening yang lama,
hingga beberapa saat kemudian, sang kakak tersenyum—mendapat gagasan. Ia
berdeham.
“Kamu lihat bulan, deh,” pinta si
Abang. Adiknya menoleh sebentar, sebelum kemudian matanya menatap bulan yang
tampak manis dengan lengkungannya. “Udah dilihat?” disambut anggukan adiknya,
masih dengan pandangan tertuju lurus pada bulan. “Sekarang, lihat bintang!”
perintah si Abang. Adiknya menuruti. Dalam diam, gadis itu menghitung jumlah
bintang sebelum memberi anggukan. Kakaknya tersenyum.
“Plis, jangan basa-basi deh, Mas,”
dan senyum si Abang hilang.
“Oke, oke. Ehm, gini, kamu tahu
bedanya bintang sama bulan?”
“Kalau ini gombal aku tahu,” jawab
adiknya, tampak enggan. Abang menghela nafas—menyadari adiknya pernah nangis
berhari-hari hanya karena gombalan dari seseorang yang mungkin, sampai kini
masih menghuni hati adiknya.
“Bukan. Ini soal cerita kamu,”
balasnya. Gadis itu menoleh, menatap lekat kakaknya yang masih memandang
langit.
“Bulan
itu bersinar lebih terang dibanding bintang. Bahkan, bulan yang hanya satu,
bisa mengalahkan ratusan bintang di sekelilingnya.” Si Abang memberi jeda. Dan
gadis itu masih menunggu penjelasan selanjutnya. “Tapi, asal kamu tahu, bulan
hanya memantulkan cahaya milik matahari. Yang begitu indah itu, bukan dari
dirinya sendiri. Sedangkan bintang? Meskipun hanya berkedip, tapi dia memancarkan
cahaya sendiri,” penjelasan yang panjang dan lebar ini membuat gadis itu
termenung lama. Sejurus kemudian ia menatap kakaknya, memberi isyarat bahwa
perkataan kakaknya benar.
“Jadi,
kamu pilih bulan atau bintang?” dan gadis itu hanya tersenyum menjawab pertanyaan kakaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar