Masih ingatkah kamu awal perkenalan kita?
Lagi-lagi aku membahas dunia maya. Dunia semu yang mengawali pertemuanku
denganmu. Lagi-lagi pula, halaman berwarna biru, bertuliskan Facebook kembali
terketik di cerita ini. Beranda yang kau kunjungi tiap malam di depan layar
laptopmu. Bercerita tentang pengalamanmu di sekolah, tentang kisah cintamu yang
semrawut, tentang teman-teman baikmu, tentang orang yang tak kau suka,
semuanya. Kau tulis secara runtut hingga otakku mampu membayangkan duniamu.
Malam ini, namamu yang sempat hilang dari peradaban Facebook, kembali terbaca di mataku. Tak perlu kuketik namamu di search, tak perlu mencap diriku sebagai stalker, kamu dengan sukarela berbagi keadaanmu sekarang, di dunia tersentuh itu.
Sayangnya, bukan aku lagi yang menanggapi
berita-berita darimu. Tak ada lagi namaku tertera di bawah status-statusmu.
Bahkan, sekedar berbagi simbol jempol, tak ada namaku. Duniamu berbeda dengan
duniaku. Kehidupanmu semakin absurd bagiku. Maya, tak tersentuh. Entah, apa
yang membuatmu berubah. Kurasa, bukan karena tulisan-tulisanku yang akhir-akhir
ini kuendapkan di memori laptopku. Ada yang lain. Sesuatu yang tak mampu
kuterjemahkan sesuai arti dan maknanya.
Sial! 1 kata yang begitu saja terucap dari
mulutku, ketika kamu berinteraksi dengan perempuan itu. Bukan saudara maupun
teman sekelasmu. Berhasil membuatku kembali menulis dengan tema patah hati
karena kamu. Aku tak peduli , jika aku kamu acuhkan. Tapi, jika kamu malah
bersenda gurau dengan wanita selain aku? Ketakpedulianku lenyap. Berubah
menjadi amarah. Yang tak kutahu alasannya, ia mendadak menggelegak dari persembunyiannya.
Jika aku tak ingat bahwa kamu bukan pemuda
bodoh, aku akan mengambil gambar salah satu statusmu. Kusebarkan di dunia semu.
Di duniaku. Dunia yang tak sepenuhnya kamu pahami dan kamu mengerti. Padahal,
seharusnya kamu tahu alasanku menulis ini. Aku sakit melihatmu berkomunikasi
dengan wanita lain. Ah, seharusnya aku sadar. Siapa diriku? Aku bukan
siapa-siapamu. Aku tak punya hak mengatur hidupmu. Aku tak mungkin
menjodohkanmu dengan wanita ini-itu, atau bahkan, aku. Terkadang, aku memilih
untuk tak mengenalmu daripada kau selalu menganggapku tak hidup. Seolah aku
adalah benda mati. Terbuat dari plastik, tanpa isi, hingga cocok untuk disapu
bersih.
Sialnya, sejak kita memilih jalan sendiri-sendiri, semakin
hari, aku semakin kehilangan dirimu. Lebih sakit lagi, kamu menganggap kita tak
pernah saling berbagi rasa, hati. Seakan kamu memilih tuli dan buta, hanya
karena ada berita tentangku. Yang tampaknya, sangat menganggu rotasi
bumimu. Aku hanya bisa merindukan
percakapan antar bola mata. Bermain pandangan di udara, tanpa mampu untuk bisa
kunyatakan.
“Posisi kamu sudah diganti sama laptop,
Mas. Tenang aja. Nggak usah panik. Aku bisa kok hidup tanpa kamu. Tak perlu
kamu menunggu waktu jam malam untuk sekedar menyapaku. Aku sekarang
mengundurkan diri dari sekumpulan aktifis dunia maya, khususnya facebook.
Sebuah tempat indah di dunia maya yang mempertemukanku dengamu. Dengan basa
basi yang cukup basi, membuatku sulit melupakan kenangan satu itu.”
Dari adik kelasmu;
Yang selalu berharap jadi kekasihmu;
Yang berani menulis surat beralamat dirimu;
Pengagum rahasiamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar