Selasa, 14 Agustus 2018

Sesaat Lagi


            Kota kelahiran saya sedang mendung.
            
Ratusan bahkan ribuan memori seketika menyergap, menaklukkan saya agar tunduk dan patuh. Delapan belas tahun saya hidup, belum pernah saya mengilas balik secara khusus selama berada di kota ini. Kota tempat saya melihat dunia untuk pertama kali; sekaligus menyaksikan saya tumbuh dan berkembang hingga detik ini.

Photo by Scott Webb on Unsplash
 Sebentar lagi, tinggal menghitung hari, saya tidak di sini.

            Namun bukan berarti saya akan lupa, bahwa di kota ini, belasan tahun lalu, saya pernah dibujuk untuk makan. Di alun-alun kota misal, saya ingat beberapa spot wajib yang diharapkan mengundang nafsu makan saya. Di dekat patung jerapah yang kini berada di sudut timur-selatan, yang pernah didampingi patung rusa dan kancil (seingat saya, sih kancil, yang jelas, bentuknya lebih kecil dibanding patung rusa); naik patung kodok yang harusnya jadi tempat sampah tapi pada akhirnya cuma jadi pajangan bahkan sempat diabaikan; menonton air mancur yang jarang mengucurkan air, namun memang lebih sering kering karena tidak ada hujan; berlarian di sekitar gawang sepak bola yang berada di alun-alun bagian barat—yang diletakkan di sisi utara dan selatan tapi sekarang sudah tidak ada; atau dibujuk di dekat patung macan yang duduk bersila di bagian pojok timur-selatan, sekarang juga sudah dihancurkan.

            Beberapa hal yang kini tak ada, tiba-tiba saya rindukan. Tidak tahu apakah karena orang-orang yang bersama saya saat itu, atau hanya karena memori masa kecil yang tidak bisa lagi saya ulangi.

            Hari ini saya juga menyadari banyak hal, terutama tentang yang sebentar lagi tidak bisa saya bawa ke perantauan: keluarga saya; orang-orang terbaik saya.

            Ternyata, yang membuat saya merasa baik-baik saja selama di dunia adalah mereka; bukan kamu.

            Mereka yang tetap menyayangi saya; menerima saya, bahkan sekalipun saya berada dalam keadaan paling buruk. Yang tetap ada setelah saya baru saja mengalami hari tidak menyenangkan ketika di luar rumah. Mengingatkan saya agar tidak lupa makan. Meneriaki saya kalau ada acara televisi menarik. Menceritakan hal-hal lucu yang mereka alami; bapak waktu di kantor, ibu saat di arisan RT, uti kalau dari masjid, dan kakak saya sepulang bersama kawan-kawannya.

            Iya, bersama mereka, saya lengkap.

Walaupun saya tahu bahwa di rumah ini tidak ada yang punya hobi sama, tapi saya dan bapak ibu bakal berada di depan televisi tiap ada pertandingan sepak bola dalam negeri. Tambah kakak saya kalau dia sedang pulang. Meskipun ibu dan kakak saya tidak begitu “ngeh” dengan sepak bola, tapi ibu akan ikut bersemangat kalau tim yang saya jagokan melakukan serangan. Mengeluh tertahan kalau jagoan saya sedang dalam posisi defensif. Bapak pun, saya tidak tahu tim mana yang sekarang beliau usung. Yang saya tahu, setiap saya nonton Bali United, bapak ikut mendukung. Apalagi kalau tim nasional yang main.

Atau mungkin karena keluarga saya sudah teracuni yel-yel klub kesayangan yang saya gaungkan tiap hari ya. Hehehehe.

Eh, sebentar. Ambil tisu.

Air mata saya menetes.

Di bawah mendung dan putaran lagu Banda Neira yang berjudul Sampai Jadi Debu, saya sadar betul bahwa sesaat lagi, saya akan jarang menyaksikan ibu saya memindah-mindahkan baju dari mesin cuci untuk dijemur; bapak saya yang ngomel-ngomel saat hujan karena talang rumah yang selalu bocor; uti yang tidak pernah suka kalau kucing saya merajuk minta makan.

Saya tahu saya paling tidak suka ketika menulis dan mendapat gangguan. Entah berupa perintah pada saya atau sekadar memberitahu ada sesuatu. Apalagi kalau ibu tiba-tiba mendatangi kamar saya lalu bercerita. Bubar jalan, langsung—apa yang telah saya susun dalam kepala atau yang sudah berada di ubun-ubun dan siap ditransmisi dalam bentuk tulisan, buyar satu-satu ke segala arah.

Tapi, Tuhan…

Sebentar, air mata saya menetes lagi.

Ngomong-ngomong, baru kali ini saya menulis sambil berlinang air mata. Harus berhenti beberapa kali karena tergugu atau ingus yang memenuhi hidung.

Tapi, Tuhan, sekalipun saya merasa belum menjadi anak yang patuh dan berbakti, ijinkan saya menggemakan doa-doa baik saya untuk keluarga saya; orang-orang tercinta saya. Beri mereka kesehatan, umur yang panjang, dan juga kebahagiaan.

Saya sering dihujani oleh kalimat bahwa saya adalah bahagia mereka. Namun belum pernah saya memberitahu bahwa mereka jugalah bahagia saya. Tuhan, bolehkah saya meminta kesempatan untuk mengucapkan hal ini? Karena sungguh, sesuatu yang sensitif dan emosional di rumah ini, membuat segalanya jadi canggung dan malah lucu. Saya tidak mau, hal sepenting ini cuma untuk ditertawakan. Boleh, kan Tuhan?

Mungkin, daripada semakin larut oleh air mata yang terus turun, tulisan untuk menyambut hari-hari penuh rindu ini saya sudahi. Ah, dasar ya anak cengeng yang sebentar lagi menuju kota rantau ini, banyak saja alibinya agar tetap berada di sini. Come on, Girl! Fighting!

     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini