Kota
kelahiran saya sedang mendung.
Ratusan
bahkan ribuan memori seketika menyergap, menaklukkan saya agar tunduk dan patuh.
Delapan belas tahun saya hidup, belum pernah saya mengilas balik secara khusus
selama berada di kota ini. Kota tempat saya melihat dunia untuk pertama kali;
sekaligus menyaksikan saya tumbuh dan berkembang hingga detik ini.
Photo by Scott Webb on Unsplash |
Namun
bukan berarti saya akan lupa, bahwa di kota ini, belasan tahun lalu, saya pernah
dibujuk untuk makan. Di alun-alun kota misal, saya ingat beberapa spot wajib
yang diharapkan mengundang nafsu makan saya. Di dekat patung jerapah yang kini
berada di sudut timur-selatan, yang pernah didampingi patung rusa dan kancil (seingat
saya, sih kancil, yang jelas, bentuknya lebih kecil dibanding patung rusa); naik
patung kodok yang harusnya jadi tempat sampah tapi pada akhirnya cuma jadi
pajangan bahkan sempat diabaikan; menonton air mancur yang jarang mengucurkan
air, namun memang lebih sering kering karena tidak ada hujan; berlarian di
sekitar gawang sepak bola yang berada di alun-alun bagian barat—yang diletakkan
di sisi utara dan selatan tapi sekarang sudah tidak ada; atau dibujuk di dekat
patung macan yang duduk bersila di bagian pojok timur-selatan, sekarang juga
sudah dihancurkan.
Beberapa
hal yang kini tak ada, tiba-tiba saya rindukan. Tidak tahu apakah karena
orang-orang yang bersama saya saat itu, atau hanya karena memori masa kecil
yang tidak bisa lagi saya ulangi.
Hari
ini saya juga menyadari banyak hal, terutama tentang yang sebentar lagi tidak
bisa saya bawa ke perantauan: keluarga saya; orang-orang terbaik saya.
Ternyata,
yang membuat saya merasa baik-baik saja selama di dunia adalah mereka; bukan
kamu.
Mereka
yang tetap menyayangi saya; menerima saya, bahkan sekalipun saya berada dalam
keadaan paling buruk. Yang tetap ada setelah saya baru saja mengalami hari
tidak menyenangkan ketika di luar rumah. Mengingatkan saya agar tidak lupa
makan. Meneriaki saya kalau ada acara televisi menarik. Menceritakan hal-hal
lucu yang mereka alami; bapak waktu di kantor, ibu saat di arisan RT, uti kalau
dari masjid, dan kakak saya sepulang bersama kawan-kawannya.
Iya,
bersama mereka, saya lengkap.
Walaupun saya tahu
bahwa di rumah ini tidak ada yang punya hobi sama, tapi saya dan bapak ibu
bakal berada di depan televisi tiap ada pertandingan sepak bola dalam negeri. Tambah
kakak saya kalau dia sedang pulang. Meskipun ibu dan kakak saya tidak begitu
“ngeh” dengan sepak bola, tapi ibu akan ikut bersemangat kalau tim yang saya
jagokan melakukan serangan. Mengeluh tertahan kalau jagoan saya sedang dalam
posisi defensif. Bapak pun, saya tidak tahu tim mana yang sekarang beliau
usung. Yang saya tahu, setiap saya nonton Bali United, bapak ikut mendukung.
Apalagi kalau tim nasional yang main.
Atau mungkin karena
keluarga saya sudah teracuni yel-yel klub kesayangan yang saya gaungkan tiap
hari ya. Hehehehe.
Eh, sebentar. Ambil
tisu.
Air mata saya menetes.
Di bawah mendung dan
putaran lagu Banda Neira yang berjudul Sampai Jadi Debu, saya sadar betul bahwa
sesaat lagi, saya akan jarang menyaksikan ibu saya memindah-mindahkan baju dari
mesin cuci untuk dijemur; bapak saya yang ngomel-ngomel saat hujan karena
talang rumah yang selalu bocor; uti yang tidak pernah suka kalau kucing saya
merajuk minta makan.
Saya tahu saya paling
tidak suka ketika menulis dan mendapat gangguan. Entah berupa perintah pada
saya atau sekadar memberitahu ada sesuatu. Apalagi kalau ibu tiba-tiba
mendatangi kamar saya lalu bercerita. Bubar jalan, langsung—apa yang telah saya
susun dalam kepala atau yang sudah berada di ubun-ubun dan siap ditransmisi
dalam bentuk tulisan, buyar satu-satu ke segala arah.
Tapi, Tuhan…
Sebentar, air mata saya
menetes lagi.
Ngomong-ngomong, baru
kali ini saya menulis sambil berlinang air mata. Harus berhenti beberapa kali
karena tergugu atau ingus yang memenuhi hidung.
Tapi, Tuhan, sekalipun
saya merasa belum menjadi anak yang patuh dan berbakti, ijinkan saya
menggemakan doa-doa baik saya untuk keluarga saya; orang-orang tercinta saya.
Beri mereka kesehatan, umur yang panjang, dan juga kebahagiaan.
Saya sering dihujani
oleh kalimat bahwa saya adalah bahagia mereka. Namun belum pernah saya
memberitahu bahwa mereka jugalah bahagia saya. Tuhan, bolehkah saya meminta
kesempatan untuk mengucapkan hal ini? Karena sungguh, sesuatu yang sensitif dan
emosional di rumah ini, membuat segalanya jadi canggung dan malah lucu. Saya
tidak mau, hal sepenting ini cuma untuk ditertawakan. Boleh, kan Tuhan?
Mungkin, daripada
semakin larut oleh air mata yang terus turun, tulisan untuk menyambut hari-hari
penuh rindu ini saya sudahi. Ah, dasar ya anak cengeng yang sebentar lagi menuju
kota rantau ini, banyak saja alibinya agar tetap berada di sini. Come on, Girl! Fighting!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar