Aku rindu.
Mungkin bagimu sepele. Tapi bagiku,
rindu masuk ke dalam salah satu hal paling menyebalkan di dunia. Bisa
menimbulkan uring-uringan tidak jelas, menghapus rasa lapar, serta mampu
melenyapkan senyum yang terpasang di wajah sepanjang hari. Dan rindu akan semakin
menyiksa ketika tidak ada satu orang pun yang berusaha memahami bahwa yang
dibutuhkan si perindu hanyalah pertemuan. Setidaknya ada perasaan simpati atau
aku akan dengan senang hati menerima saran dia demi mengusahakan pertemuan,
bukan cuma kata: sabar ya, sabar.
Hei, rindu tidak bisa lenyap hanya
karena baru saja mendengar kata sabar ya. Jadi, tolong, jika tidak ada satu pun
yang paham betapa beratnya merindukan seseorang, tidak perlu sok-sokan simpati,
mengelus-elus punggung, dan berceramah soal sabar. Aku sudah kenyang. Apalagi
janji-janji soal seseorang yang ingin aku temui setiap detik, akan pulang
beberapa hari lagi. Seseorang yang dua bulan lalu bilang akan pulang dan
memberiku banyak oleh-oleh, padahal aku hanya ingin bertemu dengan dia. Mungkin
jika waktu dapat diputar, dua bulan lalu aku tidak akan berteriak kegirangan
mendengar dia yang akan memberiku banyak buah tangan. Aku pasti akan bilang
bahwa aku hanya rindu—ingin bertemu dia—bukan meminta oleh-oleh satu truk
sementara dia masih ada di sana, jauh di seberang samudra.
Aku rindu.
Tapi tidak ada satu orang pun yang
paham betapa aku iri kepada diriku sendiri yang berada dalam foto-fotoku yang
terpajang di meja. Diriku sendiri yang bisa memeluk orang yang aku rindukan
sekarang, selamanya. Beku dalam fotografi. Sementara aku di sini, pada detik
ini, cuma bisa bengong, karena orang yang sedang aku peluk dalam foto itu entah
sedang apa di seberang sana. Aku cuma bisa rindu, tapi tidak ada satu orang pun
yang tahu betapa aku membenci perasaan ini.
Aku hanya ingin bertemu.
Hanya itu.
Dan hanya kepada samudra aku merasa
sedikit lebih dekat kepada dia yang aku rindukan. Samudra yang tidak pernah
bertanya mengapa aku uring-uringan sepanjang hari dua bulan terakhir. Samudra
yang selalu tahu alasan kenapa senyumku jarang muncul dua bulan terakhir.
Samudra yang tidak pernah mengatakan, “Sabar,” juga tidak pernah mengumbar
janji bahwa dia akan pulang sebentar lagi. Hanya samudra yang mampu berbicara
soal badai, ombak, angin, persis seperti dongeng-dongeng pengantar tidur dari
orang yang aku rindukan. Hanya kepada samudra, aku merasa suatu hal menyebalkan
bernama rindu ini, dapat teratasi.
Sebelum aku bertemu seseorang, yang
membuatku berpikir dua kali, apakah rindu yang melanda kepalaku ini lebih
penting daripada toleransi dan keutuhan NKRI. Seseorang yang bernama ..... klik di sini