Hai, Tuan, bagaimana kabarmu? Aku
harap kamu baik-baik saja. Tersenyum ramah seperti biasa, seolah tak pernah
terjadi apa-apa terhadapmu sebelumnya. Ah, ya, tentu saja kamu dapat bertingkah
tak terjadi apa-apa. Karena guncangan paling hebat terjadi padaku, bukan kamu.
Kamu tentu tak menangis berhari-hari dan menyesal berbulan-bulan perihal kisah
kita. Aku tahu, bukan maksudmu untuk tidak peduli. Aku juga tahu, bukan karena
kamu dapat dengan mudah berpindah ke lain hati.
Ah, maafkan. Baru pembukaan dari
tulisan ini, aku seolah menyudutkanmu. Bukan, bukan. Bukan tentang kamu yang
sukses move on. Bukan pula tentang kemalanganku yang gagal move on.
Asal kamu tahu, ternyata banyak yang
menanyakan kelanjutan kisah kita. Sungguh, aku tak menyangka ternyata ada yang
mengikuti perjalanan kita. Yah, jika bisa disebut perjalanan, berarti jalan
yang kita lalui bercabang, atau memang buntu, dan susah seharusnya kita
berhenti, kembali, atau meneruskan perjalanan. Sayangnya, kita punya dua
pendapat berbeda. Memang sama-sama ingin berjalan, tapi kamu ingin melangkah ke
kiri, sedangkan aku memilih ke kanan. Kita sama-sama keras kepala, menguatkan
ego.
Sampai
kita memutuskan meletakkan hubungan kita di persimpangan jalan, lalu berjalan
menuju jalan yang aku dan kamu ingini. Aku ke kanan, dan kamu ke kiri. Dan
entah kamu tahu apa tidak, di tengah perjalanan, aku menyesal mengapa tak
meredam keinginanku. Karena melalui hari yang biasanya ada yang mendampingi,
tapi sekarang harus sendiri, adalah sesuatu hal yang baru sekarang aku sadari,
terasa pincang dan sepi. Biasanya jika aku merasa lelah, ada kamu yang memberi
sandaran saat aku beristirahat. Dan aku harap kamu masih ingat ketika kamu
putus asa, ada aku yang memberi semangat. Bukankah waktu itu kita saling
melengkapi? Tapi mengapa semudah itu kita memutuskan untuk sendiri-sendiri?